Wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mencuat. Munculnya wacana ini tak lepas dari putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah, menimbulkan berbagai reaksi dan perdebatan di kalangan politikus.
Namun, Wakil Ketua DPR Adies Kadir menegaskan bahwa revisi UU MK sebenarnya sudah selesai. Ia menyatakan tidak ada rencana revisi baru karena revisi sebelumnya sudah dilakukan lima tahun lalu.
Tidak Ada Rencana Revisi Baru UU MK
Adies Kadir, Wakil Ketua DPR, dengan tegas membantah rencana revisi UU MK. Ia menyatakan revisi UU MK telah dilakukan lima tahun silam dan saat ini tinggal menunggu pembahasan di paripurna.
Menurutnya, proses revisi telah rampung dan hanya tinggal satu tahap lagi sebelum disahkan. Hal ini disampaikan Adies saat berada di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Meskipun wacana revisi muncul setelah putusan MK tentang pemisahan pemilu, Adies menekankan bahwa revisi tersebut tidak terkait dengan putusan tersebut. Ia menjelaskan bahwa revisi yang sudah ada tinggal menunggu tahap paripurna.
Pimpinan DPR, lanjut Adies, belum menjadwalkan pembahasan UU MK dalam Badan Musyawarah (Bamus). Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan jika ada pembicaraan di rapat pimpinan (Rapim) terlebih dahulu.
Tanggapan DPR Terhadap Putusan MK dan Wacana Revisi
Meskipun Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan revisi UU MK sudah selesai, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, memberikan pandangan berbeda. Ia menjelaskan bahwa wacana revisi UU MK tidak berkaitan langsung dengan putusan MK soal pemilu.
Nasir menegaskan bahwa revisi bertujuan untuk memperbaiki UU MK, bukan untuk mengurangi kewenangan MK. Kewenangan MK sendiri telah diatur dengan jelas dalam UUD 1945.
Ia menambahkan bahwa kebetulan saja wacana revisi muncul berdekatan dengan putusan MK. Reaksi berbagai pihak, termasuk partai politik yang menolak putusan MK, merupakan hal yang wajar dalam sistem demokrasi.
Nasir menekankan kembali bahwa revisi tidak bertujuan untuk melemahkan atau “mengerdilkan” MK. DPR, sebagai pembentuk UU, memiliki kewajiban untuk mengevaluasi lembaga negara, termasuk MK.
Putusan MK: Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029. Keputusan ini diambil setelah mengabulkan sebagian permohonan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
MK menilai Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK menyatakan pemungutan suara akan dipisah. Pemilu nasional akan dilaksanakan terlebih dahulu, kemudian pemilu daerah akan dilaksanakan setelahnya dalam kurun waktu 2 hingga 2,5 tahun.
Putusan ini bertujuan untuk mengurangi kejenuhan masyarakat dan meningkatkan fokus pada setiap tahapan pemilu. Pemisahan ini diharapkan akan menghasilkan proses pemilihan umum yang lebih efektif dan efisien.
Perdebatan seputar revisi UU MK dan putusan MK mengenai pemisahan pemilu masih berlanjut. Meskipun DPR menyatakan revisi sudah selesai, tetap ada kegelisahan terkait implikasi putusan MK terhadap sistem kepemiluan di Indonesia. Ke depan, perlu komunikasi intensif antara DPR dan MK untuk memastikan stabilitas dan efektivitas sistem kepemiluan di Indonesia.