Berita  

Revisi UU MK: PKS Tolak Pengkerdilan, Demi Hukum Adil

Revisi UU MK: PKS Tolak Pengkerdilan, Demi Hukum Adil
Sumber: Liputan6.com

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mengkaji revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Wacana ini muncul setelah MK memutuskan pemisahan pemilu nasional dan lokal, memicu beragam reaksi dari berbagai pihak.

Meskipun muncul setelah putusan kontroversial MK, anggota DPR memastikan revisi UU MK bukan upaya untuk membatasi kewenangan lembaga tersebut. DPR menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap lembaga negara, termasuk MK.

Wacana Revisi UU MK: Bukan untuk Mengerdilkan Mahkamah Konstitusi

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menegaskan revisi UU MK murni untuk perbaikan dan evaluasi.

Ia membantah adanya niat untuk mengurangi atau melemahkan kewenangan MK yang telah diatur dalam UUD 1945.

DPR, sebagai pembentuk UU, memiliki tanggung jawab untuk mengevaluasi berbagai institusi negara.

Reaksi penolakan dari berbagai partai politik terhadap putusan MK merupakan hal yang biasa dalam dinamika demokrasi.

Kritik terhadap Putusan MK dan Peran Lembaga Negara

Muhammad Khozin dari Fraksi PKB di Komisi II DPR RI mengkritik putusan MK tentang pemisahan pemilu.

Ia menilai MK telah melampaui perannya sebagai penjaga konstitusi (guardian of constitution) dan bertransformasi menjadi lembaga pembentuk undang-undang.

Khozin menekankan perlunya penegasan fungsi dan peran MK agar tidak menjadi jalan pintas untuk menolak produk perundangan.

Ia melihat adanya kontradiksi antara putusan MK nomor 135/2025 dan putusan sebelumnya nomor 55/2019 terkait keserentakan pemilu.

Khozin juga mempertanyakan kewenangan MK dalam memerintahkan pemisahan pemilu nasional dan lokal.

Ia berpendapat pemerintah tidak bisa langsung melaksanakan putusan tersebut karena berpotensi memicu inkonstitusionalitas.

Kelelahan DPR dan Kekhawatiran atas Putusan MK

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengungkapkan kelelahan DPR dalam membuat undang-undang yang kerap dibatalkan MK.

Ia menyinggung penggunaan alasan “meaningful participation” oleh MK dalam membatalkan produk perundangan.

Habiburokhman menjelaskan tiga cara MK menggunakan “meaningful participation” untuk membatalkan undang-undang.

  • Hak untuk didengar (the right to be heard).
  • Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (the right to be considered).
  • Hak untuk mendapat penjelasan (the right to be explained).

Ia menyayangkan upaya DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dianggap sebagai implementasi “meaningful participation” masih bisa dibatalkan MK.

Habiburokhman mempertanyakan proses pengambilan keputusan MK yang menurutnya tidak melibatkan partisipasi pihak lain.

Secara keseluruhan, wacana revisi UU MK ini mencerminkan dinamika hubungan antara DPR dan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Perdebatan ini menyoroti pentingnya keseimbangan kekuasaan dan kejelasan peran masing-masing lembaga negara agar proses legislasi berjalan efektif dan berlandaskan hukum. Ke depan, diharapkan revisi UU MK (jika terjadi) dapat memperkuat sistem checks and balances dan memperjelas mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang.

Ikuti Kami di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *