Wastra tradisional Indonesia menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa, termasuk jejak interaksi panjang dengan berbagai peradaban. Salah satu interaksi yang signifikan dan terlihat jelas adalah pengaruh budaya Tionghoa yang telah berakar dalam motif dan filosofi kain-kain Nusantara selama berabad-abad.
Uni Indonesia melalui Prof. Dr. AM. Hermina Sutami, M.Hum., mengungkap akulturasi budaya Indonesia-Tionghoa yang terdokumentasikan dengan indah dalam wastra. Jejak pertukaran budaya ini bukanlah fenomena baru, melainkan proses panjang yang terjadi seiring Indonesia menjadi jalur perdagangan dunia.
Motif Naga dan Simbolisme Kekuatan
Motif naga, misalnya, merupakan salah satu contoh akulturasi budaya yang paling menonjol. Di Barat, naga seringkali digambarkan sebagai sosok jahat.
Namun, dalam budaya Tionghoa, naga justru merupakan simbol kekuatan, kesehatan, dan keberuntungan. Ia dianggap sebagai makhluk mitologi yang dihormati dan memiliki pengaruh besar atas alam, terutama dalam mengendalikan hujan.
Kehadiran motif naga pada wastra Indonesia menunjukkan pengaruh kuat budaya Tionghoa yang telah berasimilasi dengan kearifan lokal.
Warna Merah: Keberuntungan dan Pengusir Roh Jahat
Warna merah juga menjadi elemen penting dalam akulturasi budaya Tionghoa-Indonesia. Di Tionghoa, warna merah melambangkan keberuntungan, kekuatan, dan perlindungan.
Selain itu, warna merah dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat dan memberikan energi positif. Kombinasi warna merah dan emas bahkan melambangkan kekayaan dan kemakmuran.
Penggunaan warna merah yang dominan dalam berbagai wastra Indonesia menunjukkan betapa warna ini telah diadopsi dan dipadukan dengan estetika lokal.
Motif Bunga dan Burung: Kekayaan Flora dan Fauna Tionghoa
Selain motif naga dan warna merah, beberapa motif flora dan fauna Tionghoa lainnya juga tampak dalam wastra Nusantara. Motif bunga teratai, bunga peoni, burung hong, dan burung kilin merupakan beberapa contohnya.
Motif-motif ini, banyak terdapat pada batik dan kain tenun, kemungkinan besar terinspirasi dari keramik-keramik China yang ditemukan di Indonesia dan kemudian diolah secara kreatif oleh pengrajin lokal.
Proses kreatif ini menunjukkan kemampuan masyarakat Indonesia dalam menyerap dan mengadaptasi unsur budaya asing untuk memperkaya khazanah seni rupa lokal.
Akulturasi Budaya yang Memperkaya, Bukan Memusnahkan
Ketua Umum Himpunan Wastraprema, Neneng Iskandar, menekankan bahwa pengaruh budaya Tionghoa dalam wastra Indonesia tidak menghilangkan identitas budaya lokal, tetapi justru memperkayanya.
Proses akulturasi ini telah menghasilkan ragam motif, warna, teknik, dan filosofi yang unik dan menjadi kekayaan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya.
Wastra tradisional Indonesia, dengan demikian, menjadi bukti nyata proses pertukaran budaya yang dinamis dan harmonis. Ia menyajikan cerita panjang tentang interaksi berbagai peradaban yang membentuk identitas bangsa.
Kesimpulannya, wastra tradisional Indonesia bukan sekadar kain, tetapi representasi dari perjalanan sejarah dan percampuran budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Studi motif dan simbolisme pada wastra memberikan wawasan yang berharga tentang proses akulturasi budaya dan kekayaan warisan Indonesia.