Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi pengurusan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Pemanggilan saksi terus dilakukan sebagai bagian dari proses investigasi yang menyeluruh.
Pada Selasa, 15 Juli 2025, KPK memeriksa tiga mantan staf khusus Menteri Ketenagakerjaan. Mereka adalah Maria Magdalena S, Nur Nadlifah, dan Mafirion.
Pemeriksaan Tiga Mantan Staf Khusus Menteri
Ketiga mantan staf khusus tersebut diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan pemeriksaan tersebut.
Maria Magdalena S dan Nur Nadlifah telah hadir di KPK pada pagi hari. Kehadiran Mafirion masih belum dipastikan.
Ketiganya pernah menjabat sebagai staf khusus Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dalam mengungkap kasus korupsi tersebut.
Kronologi Kasus Pemerasan RPTKA
Kasus ini bermula dari penetapan delapan tersangka oleh KPK. Mereka diduga melakukan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemenaker.
Para tersangka, yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kemenaker, diduga telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari 2019 hingga 2024. Uang tersebut didapatkan melalui pemerasan terhadap agen TKA.
RPTKA merupakan dokumen penting bagi TKA untuk bekerja di Indonesia. Tanpa RPTKA, izin kerja dan tinggal TKA akan terhambat, sehingga agen TKA dipaksa untuk memberikan uang kepada para tersangka.
Kasus ini diduga terjadi selama kepemimpinan tiga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi berbeda. Yakni Abdul Muhaimin Iskandar (2009-2014), Hanif Dhakiri (2014-2019), dan Ida Fauziyah (2019-2024).
Modus Operandi dan Aliran Dana Korupsi
Modus pemerasan dilakukan sejak awal proses pengurusan RPTKA di Direktorat PPTKA, Kemenaker. Para tersangka memprioritaskan pemohon yang telah menyetor uang.
Pemohon yang tidak menyetor uang akan mengalami penghambatan proses. Bahkan, ada yang diminta ‘dibantu’ agar proses RPTKA lebih cepat selesai, meskipun perusahaan yang terlambat juga dikenakan denda.
Pejabat tinggi diduga memerintahkan verifikator untuk memungut uang dari pemohon. Pemohon yang telah menyetor uang akan diberikan jadwal wawancara melalui Skype.
Dari total Rp53,7 miliar yang terkumpul, sebagian juga dinikmati oleh 85 pegawai di Direktorat PPTKA. Mereka menerima sekitar Rp8,95 miliar.
Uang hasil korupsi juga diduga digunakan untuk keperluan makan siang dan kegiatan non-budgeter para pegawai di Direktorat Binaperta Kemenaker. Jumlahnya mencapai sekitar Rp8 miliar.
Selain itu, uang juga mengalir kepada office boy (OB) dan staf lainnya, sekitar Rp5 miliar, yang kemudian telah dikembalikan.
Proses hukum kasus ini terus berlanjut. KPK terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi untuk mengungkap seluruh fakta dan memastikan keadilan ditegakkan. Pengungkapan detail kasus ini diharapkan memberikan efek jera dan mencegah terulangnya praktik korupsi serupa di masa mendatang.