Rahasia Terasi: Lebih dari Sekadar Bumbu Kuliner Indonesia

Rahasia Terasi: Lebih dari Sekadar Bumbu Kuliner Indonesia
Sumber: Liputan6.com

Terasi, bumbu ajaib khas Asia Tenggara, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai masakan di berbagai negara. Lebih dari sekadar bumbu dapur, terasi juga menjelma menjadi komoditas ekspor yang penting. Setiap daerah memiliki cara pembuatan, warna, tekstur, dan nama tersendiri untuk bumbu lezat ini.

Aroma khasnya yang kuat dan rasa umami yang kaya telah memikat lidah penikmat kuliner selama ratusan tahun. Dari Thailand hingga Indonesia, terasi telah berperan penting dalam menciptakan cita rasa unik dan autentik pada beragam hidangan.

Beragam Nama, Satu Rasa Umami

Terasi memiliki beragam sebutan di berbagai penjuru Asia. Di Tiongkok, dikenal sebagai “ham ha” dalam bahasa Kanton.

Di Vietnam, namanya “mắm tôm,” sedangkan di Indonesia dikenal sebagai “terasi.” Filipina menyebutnya “bagoong,” sementara di Thailand, terasi dikenal sebagai “kapi.”

Meskipun namanya berbeda, semua mengacu pada pasta yang terbuat dari fermentasi ikan atau udang, menghasilkan cita rasa umami yang khas. Terasi seringkali menjadi bagian penting dalam berbagai resep, dari kari dan saus hingga sambal dan aneka mi.

Sejarah Terasi yang Mengakar di Thailand Selatan

Tradisi pembuatan terasi telah ada sejak abad ke-8, bermula dari Thailand Selatan. Udang yang melimpah di daerah tersebut menjadi bahan baku utama.

Proses pembuatannya melibatkan pencampuran udang dengan garam, lalu dijemur di atas tikar bambu hingga kering dan terfermentasi. Metode tradisional ini memungkinkan terasi bertahan hingga berbulan-bulan.

Kadang, terasi dibentuk menjadi balok kering sebelum dijual. Meskipun bisa dibuat sendiri di rumah, prosesnya cukup memakan waktu dan tenaga.

Untungnya, terasi mudah ditemukan dan harganya terjangkau.

Terasi di Indonesia: Ragam Versi dari Berbagai Daerah

Di Indonesia, terasi dikenal sebagai pasta yang terbuat dari fermentasi ikan kecil atau udang rebon. Proses fermentasi selama beberapa minggu menghasilkan aroma khas yang kuat dan tajam, namun justru inilah yang menjadi ciri khasnya.

Terasi Cirebon, misalnya, memiliki cerita menarik terkait sejarahnya, diyakini diciptakan oleh Pangeran Walangsungsang, salah satu pendiri Kota Cirebon, dan menjadi upeti bagi Kerajaan Sunda Galuh.

Nama “terasi” sendiri konon berasal dari kata “asih” yang berarti cinta atau suka, karena sangat digemari oleh raja.

Di Indonesia, berbagai daerah memiliki versinya masing-masing, seperti terasi khas Lombok Timur dengan tiga jenisnya: lengkare (merah), jerowaru (lebih gelap), dan beroq (campuran udang dan ikan).

Mitos dan Fakta Keamanan Konsumsi Terasi

Ada beberapa anggapan bahwa terasi perlu diolah terlebih dahulu (digoreng, direbus, atau dibakar) sebelum dikonsumsi karena kekhawatiran akan bakteri patogen seperti *Vibrio parahaemolyticus* dan *Staphylococcus aureus*.

Namun, penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu benar. Terasi aman dikonsumsi asalkan proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan dengan baik.

Umur simpan terasi juga perlu diperhatikan; umumnya terasi dapat bertahan hingga setahun di suhu ruang, sementara belacan sekitar enam bulan.

Aroma khas terasi yang kuat menjadi indikator kualitasnya. Terasi yang berkualitas akan memiliki aroma yang kuat dan khas.

Sebagai penutup, terasi tak hanya sekadar bumbu dapur, tetapi warisan budaya kuliner yang kaya sejarah dan rasa. Keberadaannya yang terus lestari di tengah perkembangan kuliner global menunjukkan betapa pentingnya terasi dalam khazanah rasa Asia Tenggara.

Ikuti Kami di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *