Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Marthinus Hukom, mengeluarkan larangan tegas kepada seluruh anggotanya untuk tidak menangkap pengguna narkoba, termasuk para artis. Hal ini didasarkan pada Undang-undang Narkotika yang mengatur bahwa pengguna narkoba harus menjalani rehabilitasi, bukan hukuman pidana.
Pernyataan tersebut disampaikan Marthinus usai memberikan kuliah umum di Universitas Udayana, Bali. Ia menekankan bahwa penangkapan pengguna narkoba merupakan tindakan yang salah, dan aparat penegak hukum yang melanggar aturan ini akan berurusan dengan hukum.
“Lho kan begini, jangankan artis, semua pengguna (narkoba) saya larang untuk ditangkap. Karena rezim Undang-undang kita mengatakan bahwa dibawa ke rehabilitasi,” tegas Marthinus. Ia juga menambahkan bahwa proses rehabilitasi harus diutamakan tanpa proses hukum.
Rehabilitasi, Bukan Penjara
Marthinus menjelaskan bahwa terdapat 1.496 Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di Indonesia yang siap memberikan layanan rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Ia mengajak masyarakat untuk melapor jika memiliki anggota keluarga yang mengonsumsi narkoba.
Ia menekankan pentingnya rehabilitasi sebagai solusi utama, bukan penjara. “Tidak diproses ya, tolong dicatat ya, tidak diproses. Kalau ada petugas penegak hukum yang coba-coba bermain memproses itu, dia berhadapan dengan hukum itu sendiri,” ujarnya. Pengguna narkoba, menurutnya, adalah korban dari para bandar.
Marthinus memandang bahwa pengguna narkoba, termasuk artis, lebih tepat ditempatkan dalam program rehabilitasi untuk mengatasi ketergantungan mereka. Menempatkan mereka di penjara hanya akan mengulangi siklus penyalahgunaan narkoba.
Kasus Fariz RM sebagai Contoh
Marthinus mencontohkan kasus musisi Fariz RM yang berulang kali terjerat kasus narkoba. Ia berpendapat bahwa penangkapan berulang kali tanpa rehabilitasi yang memadai justru memperburuk kondisi Fariz RM.
“Seperti kasus Fariz RM, berapa kali dia menggunakan dan ditangkap? Artinya dia dalam kondisi sebagai orang yang ketergantungan. Kalau, kita membawa dia ke penjara, kita menghukum dia untuk kedua kalinya. Kita menjadikan korban untuk kedua kalinya,” jelasnya.
Oleh karena itu, pendekatan rehabilitasi yang intensif, bahkan rehabilitasi inap dalam jangka waktu lama, dinilai lebih efektif untuk menangani kasus-kasus seperti ini. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa kembali ke jalan yang salah setelah rehabilitasi juga sering terjadi.
Asesmen Narkotika dan Surat Edaran MA
Terkait kemungkinan adanya kesalahan asesmen narkotika di tingkat bawah, Marthinus merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor 4 Tahun 2010. Surat edaran tersebut menjelaskan tentang gramifikasi batas maksimal narkoba yang ditemukan pada seseorang. Satu gram atau kurang umumnya mengindikasikan pengguna, bukan pengedar.
Namun, ia juga menegaskan pentingnya mempertimbangkan informasi intelijen lain untuk memastikan status pengguna atau pengedar. Asesmen yang komprehensif dibutuhkan untuk menentukan langkah yang tepat, apakah rehabilitasi atau proses hukum. Informasi intelijen yang akurat akan memastikan tidak ada yang luput dari jerat hukum.
Kesimpulannya, penegakan hukum terkait narkoba perlu lebih fokus pada rehabilitasi bagi pengguna dan penindakan tegas terhadap pengedar. Hal ini memerlukan kerjasama antar lembaga dan peningkatan kapasitas dalam asesmen serta penanganan ketergantungan narkoba.
Ke depannya, perlu adanya evaluasi berkala terhadap efektivitas program rehabilitasi dan peningkatan kualitas IPWL agar dapat memberikan layanan yang optimal bagi para pengguna narkoba. Perlu juga peningkatan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi dan cara mengakses layanan tersebut.